Mengenai Saya

Foto saya
Saya salah seorang yang cukup concern thdp pendidikan, terutama pendidikan utk anak usia dini. Pendidikan S1 dan S2 PAUD UNJ saya telah banyak membantu dalam pengembangan dan pendalaman kajian AUD.

Selasa, 16 Februari 2010

Teman dalam Renungan...

Temanku yang baik..

Tahukah engkau bahwa ada berbagai macam tipe teman di antara sekumpulan teman kita..? ya, aku akan bercerita kepadamu teman.

Tipe teman yang pertama adalah, seorang teman yang sejak awal sudah bertanya dalam hati dan pikirannya: "Apa keuntungan yg bisa kudapat dari temanku ini..?" atau: "Apa yang bisa kumanfaatkan dari temanku yang satu ini..?". Lalu yang kedua adalah tipe teman yang selalu ingin tahu keadaan atau keberadaan orang lain, tapi tentang dia...tak satupun teman kita maupun diri kita yg sdh dianggapnya sebagai temannya yg boleh mengetahuinya, hebatnya dia masih bisa berkata: "Aku gak pengen tahu kok urusan orang lain..". Menarik ya teman? berikutnya ada pula teman kita yang sepertinya bahagia sekali jika dia bisa mengkritik temannya yang lain..sssttt dia tidak sadar loh bahwa sebenarnya dialah yang harus banyak berbenah diri. Teman berikutnya juga mungkin sering engkau jumpai..di mana dia adalah seorang teman yang ingin sekali terlihat hebat, pintar, serba bisa di depan banyak orang, bahkan terkadang cenderung "lebay"..dan seringkali dia lupa bahwa tong kosong itu nyaring bunyinya.
Masih membaca tulisanku teman..?
Baiklah, ini tipe teman kita yg juga unik..seseorang atau bahkan banyak orang yang bercuap-cuap mengatakan bahwa dia telah membuat sebuah karya, dengan bangganya dia ceritakan karya tersebut pada banyak orang..sementara di relung hatinya yg paling dalam, dia menangis dan menderita karena dia sadar betul bahwa karya tersebut adalah milik temannya. Lalu ada juga seorang teman yg sangat hobby menceritakan pada teman-teman yang lain bahwa kita adalah teman terbaiknya dan yang paling dia handalkan, sehingga banyak di antara teman yang lain iri kepada kita krn menganggap dia teman yg pilih kasih atau kita adalah teman yg pandai mencari muka..percayalah teman, itu sebuah muslihat, karena ternyata dia memiliki seorang teman yang lain di mana banyak orang yg tdk menyadari bahwa temannya tersebut jauh diperlakukan lebih terhormat dibandingkan kita.
Teman kita yg diperlakukan terhormat tersebut mjd salah satu tipe teman kita juga. Perhatikan saja kemampuannya, sangat terbatas, atitudenya sangat rendah, pengalamannya juga tidak banyak..tapi dia sangat hebat dalam memberi kenyamanan, kehangatan dan kemesraan bagi teman-teman kita yang lain.
Jangan heran teman, jika ada beberapa teman kita yg akan segera menyalahkan kita jika keadaan tidak menguntungkan dan menganggap itu bukan lagi tanggung jawabnya, tp bila kondisi mjd lbh baik, dia akan segera bangkit dan berkata: "ya..untung ada saya kemarin.." atau: "itu kan ide saya.." Kalau kita ingat-ingat kembali, ada teman yang mengaku menjadi teman kita, tersenyum dan berkata manis di hadapan kita, dan tidak jarang menyanjung kita dan menjatuhkan teman kita yang lain..namun jangan terpedaya teman, dia pun akan jatuhkan nama baik kita "habis-habisan" di depan teman kita yang lain.
hmmm..tak apalah teman, karena masih ada tipe teman kita yang lain. Seperti teman yang berikut ini, dia tidak pernah menyakiti, dia tidak ikut bergembira atas keberhasilan kita, dia pun tidak mau terlalu jauh mencampuri urusan orang lain..atau mungkin karena dia juga tdk tahu apa-apa ya..? Tapi masih ada meskipun sedikit, seorang teman yg banyak ikut merasakan kesusahan dan kesenangan yang kita rasakan. mmmm..kalau dipikir2 lagi itu biasa bagiku teman..karena ada yg jauh lebih hebat dari mereka, seorang teman yg meskipun dia dalam keadaan sulit, terdesak, tergesa-gesa bahkan dalam keadaan sedih tapi masih bisa menghibur kita, memberi bantuan atau sekedar membantu memikirkan persoalan yang sdg kita hadapi. dia juga seorang teman yg dalam kegembiraannya masih mampu menitikkan air mata atas kesedihan temannya. dia adalah seorang teman yg masih terpingkal-pingkal atas kegembiraan temannya sementara diapun sedang dalam banyak masalah. dan dia adalah teman yg selalu mendoakan kebaikan dan kebahagiaan bagi temannya..karena dia selalu berharap yang terbaik bagi temannya, meski terkadang itu tidak sesuai dengan keinginannya..
Teman..siapapun dan bagaimanapun engkau, tetap menjadi temanku..karena engkau, engkau dan engkau.. aku menjadi mengerti makna "TEMAN".

Senin, 15 Februari 2010

Belajar Matematika untuk Anak Usia Dini

A. Kemampuan Matematika Permulaan
Matematika permulaan merupakan kemampuan yang dapat dikuasai oleh seorang anak dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berkenaan dengan pola-pola, urutan, pengklasifikasian, ukuran, konsep bilangan, korespondensi satu-satu, konsep bentuk geometri, melakukan estimasi serta pengolahan data sederhana dengan memanipulasi dan menggunakan media-media kongkrit sebelum mengoperasikan simbol-simbol abstrak, serta melakukan interaksi melalui bermain.
Kemampuan klasifikasi dimaksudkan agar anak dapat mengelompokkan benda-benda di sekitar mereka berdasarkan jenis, fungsi, warna, ataupun bentuknya, seperti anak bermain mengelompokkan benda-benda berwarna merah dan kuning yang ada dalam kelas. Korespondensi merupakan suatu kemampuan di mana anak dapat menghubungkan benda-benda sesuai dengan pasangannya. Kegiatan ini dapat dicontohkan dengan aktivitas bermain anak saat memasangkan sepatu dengan kaus kaki, sendok dengan piring, ataupun kursi dengan meja. Mengurutkan pola adalah kemampuan anak mengenal dan mengikuti pola-pola yang ada di dekatnya secara berurutan. Ketika ada sebuah urutan pola pensil, crayon, dan kertas, maka setelah kertas anak dapat mengurutkan kembali dengan meletakkan pensil, crayon dan kertas setelahnya. Dalam menghubungkan konsep bilangan anak diharapkan mampu menghitung benda-benda dan menghubungkannya dengan lambang bilangan yang bersesuaian. Mengenal bentuk geometri pada anak anak usia dini adalah kemampuan anak mengenal, menunjuk, menyebutkan serta mengumpulkan benda-benda di sekitar berdasarkan bentuk geometri. Pada kemampuan pengukuruan, anak diharapkan dapat mengenal konsep ukuran yang bersifat informal atau alamiah, seperti menggunakan jengkal, langkah, tali, tongkat ataupun lidi dalam mengukur panjang, lebar, ataupun tinggi benda. Dalam kegiatan estimasi, anak mulai belajar membuat prediksi secara logis baik pada sebuah peristiwa sederhana, susunan maupun jumlah benda dalam sebuah wadah. Sedangkan kemampuan menyusun data statistik sederhana merupakan suatu kesempatan bagi anak untuk mengembangkan keterampilan membandingkan jumlah serta probabilitas dari hasil pengamatan terhadap beberapa benda.
B. Tahapan Pembelajaran Matematika AUD
Pembelajaran matematika bersifat hierarkis, dengan demikian kegiatan pengembangan kemampuan matematika permulaan di TK juga perlu dilakukan secara bertahap. Lorton mencoba menunjukkan pentingnya konsep matematika ini mulai diperkenalkan pada anak usia 4-5 tahun. Pengembangan ini yang biasa disebut sebagai stimulasi matematika permulaan di TK. Lorton mendasarkan pada teori Piaget yang menunjukkan bagaimana konsep matematika terbentuk pada anak. Menurutnya, penguasaan matematika selalu melalui tiga tingkat penekanan tahapan, yaitu:
a. Tingkat pemahaman konsep
Anak akan memahami konsep melalui pengalaman beraktivitas/bermain dengan benda-benda kongkrit.
b. Tingkat transisi
Proses berpikir yang merupakan masa peralihan dari pemahamn kongkrit menuju pengenalan lambang yang abstrak, dimana benda kongkrit itu masih ada dan mulai dikenalkan bentuk lambangnya.Hal ini harus dilakukan guru secara bertahap sesuai dengan laju dan kecepatan kemampuan anak yang secara individual berbeda.
c. Tingkat lambang bilangan
Tahap terakhir di mana anak diberi kesempatan untuk mengenal dan memvisualisasikan lambang bilangan atas konsep kongkrit yang telah mereka pahami. Ada saat di mana mereka masih menggunakan alat kongkrit hingga mereka melepaskannya sendiri.
C. Bermain dalam Pembelajaran
Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan, tanpa ada paksaan ataupun tekanan dari luar, serta mampu mengembangkan berbagai potansi pada anak.
Bergen (1988) yang dikutip oleh Patmonodewo mencoba mengklasifikasikan aktivitas bermain pada tatanan sekolah. Bermain di sekolah dapat digambarkan sebagai suatu rentang rangkaian yang berawal dari bermain bebas, bermain dengan bimbingan hingga bermain yang diarahkan.
Bermain bebas merupakan suatu kegiatan bermain di mana anak dapat melakukan kegiatan permainan apapun yang mereka suka secara spontan dan tanpa ada keikutsertaan guru di dalamnya. Anak bebas menentukan alat permainannya, waktu bermain, lokasi, dan juga teman-teman yang terlibat. Dalam hal ini, guru hanya sebagai fasilitator di sekolah.
Pada tahapan kedua atau tahapan bermain dengan bimbingan, guru mulai memiliki sedikit peran dalam permainan yakni dapat menentukan jenis permainan serta menyediakan alat permainan yang akan digunakan. Meskipun demikian, guru tidak terlibat lebih jauh saat anak melaksanakan permainan. Ada saat tertentu guru bisa membantu atau sedikit memberi masukan ketika anak mengalami kesulitan. Lebih dari itu, guru diharapkan lebih menghargai cara anak dalam melakukan permainan.
Dalam kegiatan bermain yang diarahkan, peran dan keterlibatan guru semakin besar. Guru yang akan menentukan jenis permainannya, alat yang digunakan, peraturannya, lokasi serta pemainnya. Meskipun demikian anak tetap bisa menikmati kegiatan atau merasakan kesenangan. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah titik jenuh anak saat bermain, karena hampir semua yang dilalui ditentukan oleh guru atau bukan kebebasan dari anak.
D. Media dalam Pembelajaran Matematika Permulaan
Media yang bervariasi sangat mempengaruhi kreativitas dan kecepatan pemahaman anak terhadap konsep matematika. Guru dapat menyeleksi media-media yang mudah didapatkan, aman, dan dapat digunakan dengan berbagai cara yang berbeda. Penyediaan media tidak selamanya harus dengan harga yang mahal, cukup dengan model yang sederhana dan biasa ditemukan oleh anak dalam kesehariannya.Ada beberapa kategori dalam mengklasifikasikan jenis-jenis media matematika permulaan yang bisa dikembangkan sesuai dengan tahapan pemahaman anak. Seperti diungkapkan oleh Lorton, kategori media matematika permulaan terdiri dari tiga tahapan, pertama media manipulatif (media kongkrit), berikutnya media pictorial (semi kongkrit), dan terakhir adalah media symbolic (simbol-simbol matematika).
dalam melaksanakan pembelajaran matematika permulaan di TK, guru perlu menyediakan media-media yang manipulatif. Media tersebut sepatutnya disesuaikan dengan tingkat kesiapan atau kematangan anak pada rentang usianya, dapat dimanipulasikan dan bervariasi sehingga menyenangkan dan memberi kepuasan bagi anak. Menyediakan media juga tidak harus dengan biaya yang mahal, guru-guru maupun orangtua dapat memperolehnya dari benda-benda di sekitar lingkungan anak. Meskipun demikian, media harus tetap diperhatikan hiegenitasnya, sehingga tidak membawa penyakit pada anak serta tidak berbahaya bagi mereka. Bukan benda yang tajam, tidak mengandung unsur api, serta tidak beracun. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam meyediakan media-media tersebut adalah bukan hanya tampilan yang menarik yang diutamakan, melainkan kebermaknaan yang dapat diperoleh anak terutama dalam hal peningkatan kemampuan matematika permulaan mereka.

Fantasi & Imajinasi Mengembangkan Bahasa Anak

Gambaran mental atau Imagery atau Imajinasi adalah representasi mental-pikiran dari sesuatu yang secara fisik tidak hadir atau terlihat saat itu, namun telah disimpan didalam ingatan (Roger N. Shepard). Dengan kata lain, imajinasi merupakan bayangan pikiran seseorang mengenai objek atau peristiwa yang pernah dipersepsi, dialami, atau hanya dibayangkan seperti orang yang sedang melamun. Contohnya, ketika seseorang sedang berjalan keruang kelas (bayangan mental peristiwa).
Untuk lebih jelasnya bagaimana sebenarnya proses imajinasi itu, orang dapat membandingkannya dengan proses persepsi. Pada persepsi, seseorang melihat benda atau peristiwa secara langsung , sementara pada imajinasi benda atau peristiwa hanya dilihat didalam pikiran berdasarkan apa yang telah disimpan di dalam ingatannya mengenai benda atau peristiwa. Oleh sebab itu, gambaran mental atau imajinasi adalah aktivitas membayangkan kembali peristiwa atau objek-objek konkrit yang pernah dipersepsi atau dialami dan telah disimpan di dalam ingatan seseorang.
Jika dianalogikan dengan persepsi maka imajinasi juga tidak hanya dilakukan terhadap objek-objek visual, tetapi juga dapat berupa auditory (pendengaran), motorik (gerakan) dan olfactory (penciuman). Contohnya, orang dapat membayangkan kembali bagaimana suara kucing kesayangannya, gerakan tangan guru yang sedang mengajar, dll.
Segala informasi tentang dunia ini sampai kepada kita melalui indera. Indera ini dapat mengingatkan kita akan bahaya dan memberikan informasi yang kita butuhkan untuk menafsirkan berbagai peristiwa dan mengantisipasi beberapa hal. Indera juga memberikan rasa aman, nyaman ataupun rasa sakit. Bagaimana kita dapat membedakan warna, menafsirkan ritme musik, atau menentukan temperatur benda yang kita sentuh. Proses kerja indera tersebut akan member dampak pada kerja otak manusia.
Untuk memahami persepsi, kita harus mengetahui bagaimana cara kerja mekanisme indera kita. Bagaimana indera tersebut menerima sensasi cahaya, suara, sentuhan, dan rasa. Tetapi, persepsi tidak hanya meliputi pembedaan stimulus (rangsangan) sederhana karena organisme tubuh kita mengartikan dan memberikan reaksi pada pola-pola stimulus. Untuk itu persepsi harus dapat menyerap informasi dari susunan stimulasi yang ada di sekitarnya.
Dalam proses sensorik, terdapat dua pendekatan yang berbeda (tetapi terkait) yaitu penelitian dasar dan penelitian terapan. Penelitian dasar mencoba untuk menemukan aspek lingkungan yang mendapat respon dari indera kita, dan bagaimana aspek tersebut menyatakan informasinya dan bagaimana pula informasi tersebut disampaikan ke otak.
Imajinasi berdasarkan penelitian Paivio bahwa recall lebih baik untuk kata-kata konkrit daripada kata-kata abstrak karena kata-kata konkrit mendorong pembayangan (imagery). Contoh kata apel (konkrit) dengan kebenaran (abstrak). Dan Paivio juga mendukung dual coding hypothesis sebagai hasil pembelajaran mengenai imajinasi yaitu informasi yang didapat seseorang disimpan secara verbal dan visual image.
Selain itu juga, imajinasi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Sebab kemudahan membentuk atau membayangkan kembali objek-objek atau peristiwa konkrit merupakan kemampuan intelektual yang sering dibutuhkan orang ketika ingin menghasilkan ide baru.

Keterkaitan Imajinasi dengan Bahasa
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa imajinasi yang dilakukan anak merupakan gambaran dalam pikiran mereka berdasarkan informasi yang sudah didapatkan sebelumnya melalui indera mereka, salah satunya indera pendengarannya. Proses mendengarkan merupakan salah satu bentuk dari kemampuan bahasa. Semakin baik kemampuan mendengarnya maka akan semakin banyak pula kosa kata, gambaran dan pengetahuan yang dimiliki anak.
Kegiatan mendengar atau menyimak yang dilakukan anak seringkali bersifat natural atau tanpa pengkondisian tertentu. Saat anak bermain, mereka banyak mendengar kosa kata yang muncul baik dari teman sebaya ataupun dari guru. Maka kosa kata maupun konsep yang diperolehnya tersebut menjadi salah satu sumber dalam berimajinasi. Sebagai contoh, anak mendengar kata ”Robot yang bertempur” dari temannya. Mungkin sesaat setelah itu, anak akan berimajinasi tentang robot yang bertempur dengan lawannya atau sesosok monster yang mengganggu warga atau masyarakat.
Hal yang menarik adalah bahwa imajinasi yang dilakukan anak juga dapat mengembangkan kemampuan bicaranya sebagai bentuk bahasa ekspresif. Mereka dapat menceritakan kepada teman, guru, ataupun orangtuanya tentang imajinasi yang ada dalam benaknya. Dikatakan oleh Piaget, bahwa ada tahapan bermain ”Symbolic” atau ”Make Believe Play” untuk anak usia 2-4 tahun. Di mana mereka mencoba menggunakan benda-benda di sekitar mereka untuk memenuhi kebutuhan imajinasinya, seperti contoh anak menggunakan remote TV yang kemudian ia bayangkan sebagai telepon atau hand phone. Saat mereka berimajinasi seperti ini, anak menunjukkan keasikannya seolah-olah berkomunikasi dengan orang lain melalui pesawat telepon. Hal ini juga menunjukkan bahwa imajinasi dapat mengembangkan kemampuan bicara atau bentuk bahasa ekspresif anak.
Lebih dari itu, melalui imajinasi juga memotivasi beberapa anak untuk menuangkannya ke dalam bentuk gambar. Di dalam gambar anak seringkali ada beberapa tulisan kata yang dimaksudkan untuk menceritakan imajinasinya. Sebagai contoh seorang anak yang berimajinasi tentang aktivitasnya ingin menuju ke luar angkasa, lalu ia tuangkan dengan gambar-gambar yang menceritakan gambaran mental atau imajinasinya. Dalam tahapan perkembangan menulis, ada tahapan yang disebut dengan tahapan mencoret atau Scribble Stage juga tahapan Random Letter Stage, di mana ketika anak belajar menulis seringkali ada gambar-gambar yang mereka sisipkan di dalamnya. Dengan demikian, imajinasi juga dapat mengembangkan kemampuan keaksaraan seperti halnya menulis.
Penting bagi guru untuk memberi kesempatan yang luas bagi anak untuk banyak berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, anak akan memperoleh banyak informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk diimajinasikannya. Setelah itu, guru juga perlu memfasilitasikan banyak cara bagi anak untuk menuangkan imajinasinya baik dengan secara verbal maupun melalui gambar dan tulisan sederhana. Serta yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan respon yang positif kepada mereka dengan segala sesuatu yang sudah mereka lakukan atau ciptakan.

Pengembangan Kemampuan Sosial AUD

A. Pengertian Perkembangan Sosial
Secara fitrah manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial. Hurlock (1978:250) berpendapat bahwa perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Sedangkan Erik Erikson melihat perkembangan sosial pada anak terkait dengan kemampuan mereka dalam mengatasi krisis atau konflik yang terjadi pada setiap perpindahan tahap agar siap menghadapi berbagai permasalahan yang akan dijumpainya di kehidupan mendatang.
Perkembangan sosial yang terjadi pada anak bersifat dinamis dan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Setiap tahapan perkembangan mereka menunjukkan ciri tersendiri pada kemampuan sosialnya yang akan menjadi bagian penting dalam perkembangan selanjutnya. Seperti halnya bahwa kompetensi perkembangan sosial yang diharapkan dari anak prasekolah tentu berbeda dengan anak di usia SD. Meskipun sangat dipahami bahwa kematangan anak dalam mengembangkan kemampuan sosialnya diharapkan akan memberi dampak pada pengetahuan sosial mereka di SD.
Anak usia dini sama dengan orang dewasa dalam hal sebagai makhluk sosial. Anak senang diterima dan berada bersama dengan teman sebayanya. Kebersamaan ini membuat mereka saling bekerja sama dalam membuat rencana dan menyelesaikan pekerjaannya. Biasanya, dalam kebersamaan, mereka saling memberikan semangat dengan sesama temannya. Anak membangun konsep diri melalui interaksi sosial di sekolah. Karena sekolah adalah tempat di mana mereka akan membangun kepuasan melalui penghargaan diri.

B. Proses Perkembangan Sosial
Untuk menjadi individu yang mampu bermasyarakat diperlukan tiga proses sosialisasi. Ketiga proses ini saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Hurlock, ketiga proses sosialisasi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a. Belajar untuk bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima masyarakat.
b. Belajar memainkan peran sosial yang ada di masyarakat.
c. Mengembangkan sikap/tingkah laku sosial terhadap individu lain dan aktivitas sosial yang ada di masyarakat.
Perilaku sosial anak pada dasarnya diawali dengan adanya contoh/model yang dilihat oleh anak, mungkin saja perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua, kakak, pengasuhnya, acara di televisi, kerabat, teman atau orang-orang yang ada di sekitarnya. Tahapan berikutnya adalah peniruan perilaku yang dilakukan anak berdasarkan contoh yang dilihatnya tersebut. Kemudian jika perilaku yang ditiru oleh anak tidak mendapat respon dari orangtua maka hal tersebut dapat menjadi rutinitas atau perilaku yang dianggap biasa. Hingga akhirnya perilaku tersebut terinternalisasi dalam diri anak dan menjadi pembentukan karakter pada dirinya.
Dalam sudut pandang psikologis, dapat pula kita lihat bahwa proses perkembangan sosial seseorang erat kaitannya dengan perkembangan emosinya. Perilaku sosial merupakan ukuran nyata kecerdasan emosi, dan sebaliknya kecerdasan emosi akan lebih terungkap secara faktual jika digali melalui perilaku sosial dan kehidupan anak. Menurut Goleman (2001) kemampuan sosial emosi merupakan suatu kemampuan untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol emosi sehingga dapat merespon dengan baik setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga manusia terutama anak dapat menunjukkan perilaku yang sesuai dengan harapan sosial.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa, proses perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Lingkungan, proses pembelajaran dan interaksi, serta aspek-aspek perkembangan yang lain saling terkait dan memberi dampak pada perkembangan sosial anak.

C. Perkembangan Kemampuan Sosialisasi di Prasekolah
Ketika anak di usia prasekolah mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, mereka semakin menjadi makhluk sosial. Tumbuh dan kembang fisiknya memungkinkan mereka untuk bergerak kian kemari secara mandiri dan mereka ingin tahu tentang lingkungan mereka dan orang-orang di dalamnya. Keterampilan kognitif berkembang dan anak mampu mengetahui orang-orang yang akrab dan yang tidak.
Anak-anak prasekolah memperlihatkan minat yang semakin besar terhadap anak-anak lain dan orang-orang dewasa. Mereka biasa menggunakan permainan ataupun alat permainan sebagai media untuk mengembangkan aktivitas sosialnya. Dengan bermain bersama akan menimbulkan kebutuhan pada mereka untuk bermain rukun dan jujur. Inilah keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan anak-anak guna membantu perkembangan mereka. Maka bermain dan kegiatan bersama seringkali menjadi aspek penting dari perkembangan sosial bagi anak usia prasekolah.
Mengembangkan hubungan sosial merupakan tonggak penting bagi anak prasekolah. Bagi banyak anak, pengalaman sekolah akan menjadi pertama kali mereka harus membicarakan kesepakatan dengan sebuah kelompok anak-anak sebaya mereka. Bila konflik benar-benar muncul, maka mereka ingin memecahkannya, tetapi tidak memiliki kemampuan verbal untuk melakukan itu. Namun sejalan dengan perkembangan usia mereka, perkembangan bahasa, kognitif, moral dan fisik motoriknya memberi peran dalam beberapa keterampilan sosialnya.
Menjelang memasuki usia SD keterampilan sosial anak semakin baik, bahkan mulai menghayati peraturan sosial. Pada usia ini, persahabatan menjadi lebih jelas definisinya. Dalam hal ini, anak semakin dapat memahami bahwa mereka sangat bergantung pada keberadaan orang lain dan sedikit demi sedikit mulai meninggalkan kepentingan pribadi dan memperhatikan beberapa kepentingan orang lain atau kepentingan bersama.
Syamsu Yusuf (2001) memaparkan beberapa keterampilan perilaku sosial yang diharapkan muncul pada usia prasekolah atau yang biasa digolongkannya ke dalam aspek kemampuan membina hubungan dengan dengan orang lain. Hal ini juga yang kemudian dikembangkan ke dalam kurikulum di satuan lembaga prasekolah. Aspek kemampuan tersebut dapat dikembangkan ke dalam indikator sebagai berikut:

· Anak mampu menerima sudut pandang orang lain
· Anak memiliki sikap empati atau kepekaan terhadap perasaan orang lain
· Anak mampu mendengarkan orang lain
· Anak memiliki kemampuan untuk memulai hubungan dengan orang lain
· Anak dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
· Anak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
· Anak memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan teman sebayanya
· Anak memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain
· Anak dapat memperhatikan kepentingan sosial seperti: tolong menolong, bekerja sama, hidup selaras, berbagi dan demokratis dalam bergaul.

Musik untuk Anak Usia Dini

Stimulasi sangatlah penting dalam proses pembelajaran anak usia dini. Segala sesuatu yang diinderakan anak akan menjadi stimulus terbaik bagi perkembangan mereka. Semua yang dilihat, didengar, disentuh, dirasa, diraba, dicoba, dimanipulasikan, dan juga yang dialami, akan terus menambah referensi perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman bagi anak. Hal ini sangat mungkin, sebab anak usia dini berada dalam periode keemasan atau yang biasa disebut sebagai masa Golden Age.

Proses pembelajaran atau pengalaman yang berasal dari lingkungan sangat berpengaruh bagi perkembangan anak. Selain optimalisasi pengembangan fungsi panca indera, lingkungan yang kondusif, aman, dan menyenangkan lebih memberi kesempatan pada anak untuk mengoptimalkan potensi-potensi yang ada pada dirinya. Otak manusia akan selalu memberi respon positif jika segala aktivitas yang dilalui terasa menyenangkan. Demikian halnya dengan apa yang dialami oleh anak. Mereka akan menyerap berbagai informasi yang diberikan oleh orang lain maupun yang dialaminya sendiri apabila hal tersebut terjadi dalam kondisi yang menyenangkan.

Banyak cara yang dapat dilakukan oleh para pendidik untuk menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam proses pembelajaran. Bermain, interaksi, eksploratif serta kegiatan musikal adalah beberapa kegiatan yang dapat ”menghidupkan” kegiatan pembelajaran. Bahkan dalam kegiatan musikal, anak tidak hanya merasakan kesenangan tetapi mereka juga dapat terlatih gerak motoriknya, ekspresi, kepekaan terhadap nada dan birama, serta dapat mengembangkan berbagai kecerdasan lain pada anak, seperti bahasa, logika matematis, intra dan interpersonal.

Musik bukan hanya kegiatan yang identik dengan kemampuan bernyanyi. Lebih dari itu, musik juga erat kaitannya dengan kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melakukan gerak tari, harmonisasi nada, pengekspresian seni musik, mengikuti ketukan serta penggunaan alat musik, baik alat musik buatan maupun alat musik yang sesungguhnya.
Dengan demikian, adalah sebuah kewajaran jika para pendidik anak usia dini sudah dibekali dengan kemampuan musikal. Bernyanyi sesuai dengan nada, manari dengan penjiwaan, berekspresi dalam berbagai apresiasi musik, serta keterampilan dalam menggunakan satu atau beberapa alat musik sederhana seperti pianika, perkusi, gitar, keyboard, ataupun angklung perlu dikuasai oleh para pendidik anak usia dini. Namun yang jauh lebih penting adalah upaya optimal dari pendidik dalam mentransformasikan kemampuannya tersebut kepada para peserta didik dengan cara-cara yang tepat seperti yang telah diungkapkan sebelumnya.

Bermusik serta mendengarkan musik merupakan salah satu kegiatan yang sangat digemari oleh anak-anak. Hampir setiap anak akan dengan mudah mengikuti kegiatan ini. Sering kita lihat seorang anak yang berhenti sejenak dengan kegiatannya hanya karena ada suara lagu di televisi kemudian ia fokus memperhatikan TV. Ada pula anak-anak yang dengan asiknya bernyanyi lagu-lagu yang sering ia dengar saat mereka sedang makan, mandi, menjelang tidur, ataupun bermain. Bagi anak, musik dapat menimbulkan rasa kebersamaan serta rasa gembira.
Menurut beberapa penelitian, musik sudah dapat distimulasikan sejak anak masih berada dalam kandungan, karena dianggap mampu menstimulasi kerja neuron-neuron pada otak anak. Bagaimanapun, musik akan sangat membantu anak dalam melatih kemampuan menyimak, konsentrasi serta menambah kosakatanya.

Selain bernyanyi dan bereksplorasi dengan alat musik, kegiatan lain dalam musik adalah gerak dan lagu serta menari. Menari sebagai salah satu bentuk kegiatan dari seni musik yang beragam jenisnya, sehingga tidak semua kegiatan tari appropriate (berkesesuaian) bagi anak. Menari lebih spesifik dikatakan oleh Stinson sebagai gerakan yang beraturan, signifikan dan dipengaruhi oleh penjiwaan.Tari yang kreatif adalah gerakan yang ditampilkan secara menarik dengan menyesuaikan alunan lagu atau musik. Terlepas dari itu, gerakan tari untuk anak sebaiknya yang mudah dan tidak terlalu bervariasi, menyenangkan bagi anak, dan dalam kondisi tertentu gerakan tari anak bersifat alami.

Gerakan tari pada anak usia dini umumnya bersifat pengulangan dari 5-6 gerakan, dengan ditambah variasi formasi yang sederhana. Hal penting yang perlu diperhatikan oleh guru ataupun orangtua adalah memperhatikan kondisi fisik dan psikologis anak saat ingin menari. Memaksakan atau menekan anak untuk menunjukkan suatu gerakan tari, terlebih harus sempurna, hanya akan membuat kondisi menjadi semakin buruk dan tidak mengembangkan kreativitas mereka. Berikut ini adalah beberapa contoh kegiatan yang dilakukan guru dan anak berdasarkan indikator kemampuan dari kecerdasan musikal:
1. Menyanyikan lagu-lagu anak
Guru mengajak anak menyanyikan lagu-lagu yang sesuai dengan tema-tema yang digunakan atau yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Dalam hal ini guru dapat membuat atau mengkreasikan lagu baru ciptaannya sendiri. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa alat musik pengiring.
2. Bermain Tepuk
Kegiatan bermain tepuk merupakan salah satu kegiatan yang juga sangat digemari anak selain bernyanyi. Anak akan dikenalkan berbagai pola tepuk yang disesuaikan dengan tema-tema. Gerak dan ekspresi sangat memberi pengaruh dalam kegiatan ini. Guru juga dapat berkreasi membuat berbagai permainan tepuk yang memotivasi, mengenalkan sebuah konsep, atau melatih konsentrasi anak.
3. Tebak nada dan lagu
Dalam kegiatan ini, guru dapat melakukannya dengan bantuan alat musik ataupun dengan bersenandung tanpa syair. Kemudian anak diminta menebak lagu berdasarkan bunyi solmisasi dari alat musik tersebut atau nada yang dimunculkan dari suara senandung guru.
4. Bermain alat musik buatan
Ada beberapa jenis alat musik yang bisa dipelajari atau dilatihkan kepada anak. Alat musik juga ada yang berupa alat musik permanen maupun alat musik buatan di mana bahannya dapat diperoleh di sekitar anak. Agar lebih menarik, alat-alat itu kemudian dihiasi dengan berbagai macam hiasan. Saat melaksanakan kegiatan ini sebaiknya guru
5. Gerak dan Lagu-Menari
Secara umum ada dua jenis tarian dalam kegiatan seni itu sendiri. Pertama, kegiatan tari daerah. Kemudian dilanjutkan dengan menari modern. Sebelum anak diajarkan tari, biasanya anak akan diajak bergerak bebas mengikuti irama musik. Kemudian mereka mulai dikenalkan dengan kegiatan gerak tari yang berpola dan menggunakan beberapa formasi.

The Miracle of Baby's Brain

The Miracle of Baby’s Brain
(Oleh: Catur SetioWargo)

Para ahli meyakini bahwa perkembangan dan pembentukan otak sudah mulai terjadi saat bayi masih berada dalam kandungan. Hal ini mulai terjadi saat anak memasuki usia sepuluh minggu, kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat sejak sekitar trimester ketiga dalam kehamilan dan terus berlanjut hingga paling tidak usia empat tahun. Ini sangat penting bagi perkembangan fungsi saraf manusia. Tersenyum, mengoceh, merangkak, berjalan, dan berbicara – semua dasar sensoris, gerak, dan kognitif bagi masa bayi dan hingga dewasa, dimungkinkan oleh perkembangan otak yang cepat, terutama cerebral cortex.

Menyadari bahwa tumbuh dan kembang otak sudah mulai berlangsung sejak dalam kandungan, maka sudah selayaknya para orangtua perlu memahami berbagai hal terkait dengan kegiatan stimulasi sejak dini pada sang buah hati. Stimulasi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai hal, seperti asupan gizi yang seimbang, kedekatan emosi dari orangtua, sentuhan, alunan musik, bahasa maupun perbendaharaan kata. Semua hal tersebut mengarah pada pengembangan otak belahan kanan dan kiri yang optimal pada bayi.

Pengkonsumsian nutrisi yang baik dapat mempengaruhi perkembangan kognitif yang normal (Rose, 1994). Nutrisi ini banyak didapatkan melalui sayuran, buah-buahan, mineral, protein dari ikan, susu, juga zat besi. Selain asupan gizi atupun nutrisi yang seimbang, kondisi emosional ibu yang sedang hamil juga memberi dampak bagi perkembangan emosional sang bayi. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli menyatakan bahwa jika seorang ibu dalam kondisi tertekan, maka aktivitas pada lobus frontal bagian kiri yang merupakan bagian otak untuk mengembangkan emosi positif, akan lebih sedikit. Sedangkan aktivitas dalam lobus frontal kanan, yang diasosiakan dengan emosi negatif akan lebih banyak (Dawson, dkk. 1992).

Pada usia 20 minggu kandungan, bayi memiliki fungsi pendengaran dan mulai memberikan reaksi pada suara. Bayi yang belum dilahirkan dihadapkan pada sejumlah besar suara dalam kandungan. Cairan ketuban yang menyelimuti bayi itu mentrasnfer suara tubuh ibunya dengan sangat efektif. Detak jantung, suara darah mengalir melalui pembuluh darah, suara pencernaan, gerakan fisik, suara pernafasan, dan lain-lain (R.M. Abrams, 1995). Namun yang lebih menakjubkan, bayi juga sudah mulai menangkap suara dari luar. Bahkan di usia 36 minggu, bayi dapat mendengarkan lagu serta mengingat karya musik yang didengarnya tersebut secara rutin. Seringkali sampai tahap ia dapat mengenali musik itu setelah dilahirkan.

Untuk seorang anak yang belum dilahirkan, bayi sudah bisa menganalisis suara dari luar. Suara-suara yang keras dan mengejutkan atau tiba-tiba akan menghasilkan detak jantung yang lebih cepat. Akan tetapi, ada satu suara yang menetralisir suara-suara lain, yaitu suara ibunya, entah ketika berbicara atau bernyanyi. Suara ini tidak sama dengan di dunia luar karena ditransmisikan di dalam maupun di luar. Pola bicara ibu akan membiasakan bayi memberi kode-kode tertentu pada bahasa ibunya. Bagi seorang bayi, suara ibunya dapat memberi ketenangan, menarik, serta memberikan stimulasi, juga menjadi titik referensi masa depan yang penting.

Pengalaman yang dilalui anak melalui berbagai stimulus yang dilakukan oleh orangtua terutama ibu sejak dalam kandungan memberi pengaruh yang cukup kuat setelah anak lahir dan mengalami tumbuh dan berkembang. Pada awal perkembangannya, mereka sudah lebih menunjukkan kesiapannya untuk bergerak dan berbicara dibandingkan anak-anak yang tidak mendapatkan stimulasi yang optimal sejak dalam kandungan (Sheppard, 2005). Oleh sebab itu, stimulasi tersebut seyogyanya dapat dilanjutkan di pasca kelahirannya.

Menurut Piaget (1960), anak pada usia 0-6 bulan merupakan masa sensorimotor, setidaknya hal ini dilihat dari perkembangan kognitifnya. Anak akan mulai mengembangkan semua fungsi panca inderanya bahkan sejak pertama kali ia dilahirkan. Anak memulai sensasi inderanya dengan meminum air susu ibunya, memasukkan jari ke dalam mulutnya, memperhatikan benda-benda yang ada di sekelilingnya karena bersuara, bergerak, atau memiliki warna yang kontras, tampak pula ia mulai senang menyentuh benda, meraba wajah ibu dan ayahnya, atau memainkan jari orang lain dengan genggamannya. Banyak hal yang dilakukannya tersebut dengan kegiatan bermain. Pendapat Piaget yang disempurnakan oleh Smilansky (1978) menyatakan bahwa pada tahap ini bayi memasuki tahapan kegiatan bermain gerak sensorik (sensory motor play).

Dengan kegiatan bermainnya inilah bayi menemukan hal-hal baru, merasakan sensari motoris dan penginderaan yang berbeda-beda, mengenali lingkungannya secara bertahap, serta menangkap berbagai stimulasi dari orang lain di sekitarnya. Oleh sebab itu, penting bagi orangtua untuk tetap membuat bayi merasa aman dan nyaman, gembira dan terpenuhi berbagai kebutuhannya baik fisik maupun psikis. Sebab tanpa kita sadari, rasa aman, nyaman dan gembira akan membuka impuls-impuls positif pada otak anak, sel-sel pada otak akan saling berhubungan dengan cepat, sehingga segala bentuk stimulus yang diberikan pada anak akan dengan mudah diserap olehnya. Terlebih jika kita meyakini bahwa usia lima tahun pertama, otak anak akan mengalami perkembangan hingga 50%. Maka tidaklah berlebihan jika diumpamakan kehidupan manusia sebagai sebuah bangunan, pendidikan sejak usia dinilah yang akan menjadi pondasinya.

Anak yang Digegas

Setiap anak telah Tuhan ciptakan dengan beragam potensi yang berbeda-beda. Potensi-potensi yang dimiliki anak dapat saja berwujud menjadi kemampuan atau potensi yang teraktualisasi. Namun tidak sedikit pula potensi-potensi tersebut tidak pernah nampak bahkan hilang sama sekali sebagai hidden potency. Hal ini besar dipengaruhi oleh ketidakpekaan orangtua dalam melihat kebutuhan anak untuk berkembang. Sementara dalam kegiatan sehari-hari mereka terus menunjukkan perilaku emansipasi atau keinginan untuk maju serta aktivitas bereksplorasi atau menjelajahi lingkungan di sekitarnya.

Kegiatan emansipasi dan eksplorasi yang dilakukan anak seringkali tidak dibarengi dengan kesempatan yang luas dari orangtua. Banyak orangtua yang terlalu khawatir dengan keselamatan anak sehingga banyak memberikan larangan kepada mereka. Meskipun juga dibenarkan jika ada saat-saat tertentu orangtua membatasi aktivitas anak yang sekiranya membahayakan bagi mereka, tetapi bukan berarti semua kegiatan mereka dibatasi atau bahkan dilarang. Perlu kita ketahui bahwa dengan anak menjelajahi dunia sekitarnya ia akan banyak menemui hal-hal baru (discovery) yang mungkin akan bermanfaat bagi perkembangannya.
Lebih dari itu, masa usia dini juga dikenal sebagai periode keemasan (Golden Age) dalam rentang kehidupannya. Begitu banyak kesempatan yang dapat dialami anak untuk mencapai perkembangan tertingginya, terutama pada perkembangan otaknya. Windows of Opportunity akan terbuka luas bagi anak di periode tersebut. Otak anak terus menuntut untuk mendapatkan stimulus dari lingkungan. Neuron-neuron pada otak juga terus bekerja dan saling berkaitan satu sama lain atau yang biasa kita sebut sebagai Neural Network. Di mana berbagai masukan seperti halnya bahasa, musik, kognitif, nilai-nilai, dan sebagainya akan diserap dengan cepat.

Ketika potensi anak teraktualisasi menjadi nyata, mereka perlu untuk senantiasa dibimbing dan diarahkan agar memberi makna serta manfaat di kemudian hari. Anak tidak lagi hanya diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang mengarah pada belahan otak kirinya saja. Mereka juga perlu distimulus dengan berbagai aktivitas dan sarana yang dapat mengembangkan beragam kemampuan pada belahan otak kanannya. Sehingga akan terjedi keseimbangan antara kedua belahan otak terutama dalam proses pembelajaran.
Selain stimulasi dari lingkungan yang optimal, perkembangan anak termasuk kematangan otaknya juga dapat didukung melalui energy dan gizi yang dikonsumsi. Bertambahnya usia dan level aktivitas anak, akan mempengaruhi pula pada kebutuhan energinya. Maka anak perlu diberikan makanan dan minuman yang bersih dan sehat, gizi yang tercukupi, serta diperoleh dengan cara yang baik pula. Sehingga diharapkan kelak anak tidak mengalami hilangnya jaringan-jaringan penting dalam otak karena kekurangan gizi. Dengan gizi yang baik, tentu akan mempengaruhi intelegensinya, membantu perkembangan sosialnya, meningkatkan perkembangan kognitifnya serta berpengaruh positif bagi perkembangan fisiknya.

Wacana seperti ini mulai banyak diketahui oleh masyarakat seperti halnya orangtua dan tentunya para guru sebagai praktisi pendidikan. Namun sayangnya, pemahaman mereka tentang hal tersebut tidak seperti yang seharusnya diharapkan. Ketika orangtua mulai mengetahui bahwa ketika anak berada dalam rentang usia dini mengalami masa periode keemasan, maka segala cara dilakukan untuk menstimulus otak dan kemampuan putra-putrinya. Seringkali tanpa disadari mereka melupakan karakteristik dan kebutuhan anak yang pada saat itu masih membutuhkan aktivitas bermain, bereksplorasi, berimajinasi, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang menyenangkan bagi mereka. Hal ini sangat terlihat ketika para orangtua mulai “memaksakan” anak untuk dapat menguasai salah satu bahkan beberapa kemampuan atau keterampilan tanpa mengindahkan kebutuhan dan kematangan usia anak. Mereka dipaksa untuk mengikuti berbagai les seperti “calistung”, les piano, les balet, les menggambar, les kumon, les komputer, dan masih banyak lagi di mana anak sendiri pada dasarnya sangat terbebani dengan ragam aktivitas tersebut.
Ironisnya, para guru di sekolah juga terbawa dengan arus seperti ini. Ada beberapa kemungkinan yang melandasi hal ini, pertama karena guru yang mengajar bukan berlatar belakang kependidikan anak usia dini, sehingga mereka tidak mengerti dampak yang terjadi jika hal ini terus berlangsung. Kedua, adanya kekurangpahaman guru dalam menyerap dan mengimplementasikan konsep yang mereka sudah dapatkan, sehingga mereka menganggap hal itu benar dan bahkan tidak ada itikad untuk merubah pada cara yang lebih baik. Kemungkinan ketiga adalah kebutuhan orangtua tersebut sudah menjadi tuntutan kepada sekolah, sehingga pihak sekolah berusaha menanggalkan idealisme mereka dan memenuhi tuntutan tersebut karena takut kehilangan pangsa pasar.

Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa, pendidikan anak usi dini merupakan pondasi bagi pendidikan dan kehidupan anak kelak di kemudian hari. Sehingga meskipun priode keemasan ini muncul pada mereka, stimulasi yang diberikan hendaknya tetap harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak. Pembelajaran harus dimulai dari yang kongkrit menuju ke abstrak, dari yang dekat dengan anak menuju kepada yang lebih jauh, dari yang sederhana hingga yang lebih kompleks. Sehingga pembelajaran yang dilalui anak akan bersifat kontekstual atau bermakna dan sesuai dengan keseharian mereka. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan dengan baik tentu akan menjadi kontraproduktif dengan konsep pendidikan anak usia dini yang seharusnya.

Terlebih jika kita ingat bahwa dalam pendidikan termasuk pendidikan untuk anak usia dini terdapat empat pilar yang harus dicapai dari proses pendidikan yang berlangsung. Pertama bahwa pendidikan harus menanamkan kepada anak untuk memiliki keyakinan terhadap Tuhannya. Kedua, melalui pendidikan hendaknya anak dapat memperoleh kemampuan untuk mengakses berbagai pengetahuan yang komprehensif dan beragam (learning how to know). Ketiga, dengan pendidikan sepantasnya anak dapat melakukan berbagai hal sebagai implementasi dari berbagai pengetahuan yang sudah diperolehnya (learning how to do). Sedangkan yang keempat, pendidikan seharusnya dapat melatih anak untuk dapat memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk kemaslahatan bersama (learning how to live together). Dengan demikian kita dapat melihat bahwa pendidikan baik dalam bentuk pembelajaran di sekolah maupun stimulasi di rumah seharusnya tidak hanya mengembangkan kognitif semata, melainkan dapat bersifat komprehensif dan bermakna bagi mereka.

Hal lain yang perlu diketahui oleh para orangtua dan juga guru adalah bahwa dalam proses pembelajaran, selalu ada tahapan-tahapan yang harus dilalui anak. Mereka tidak bisa langsung dipaksakan untuk mencapai suatu kemampuan tertentu tanpa melewati tahapan sebelumnya. Sebagai contoh, anak tidak mungkin bisa membaca jika mereka belum mengetahui konsep huruf dan suku kata. Atau anak juga tidak mungkin dapat melakukan penjumlahan jika mereka belum mengetahui konsep bilangan. Jika anak tidak melalui tahapan-tahapan kemampuan sebelumnya, maka yang terjadi anak hanya sekedar menghafal atau mengikuti contoh tanpa memahami makna dan konsep yang seharusnya.

Math is Easy for Young Children

Mathematics is Easy for Young Children
(By: Catur SetioWargo)

Math learning happens naturally as children play. Young children discover, test, and apply math concepts naturally every day, in just about everything they do. Some kinds of math learning seem obvious, such as when we count with child to see how many blocks are in her tower, or when the child, in answer to a question about how old he is, holds up five fingers. But children are also “doing math” as they discuss whose cup is biggest or which bucket holds the most sand. They are developing problem-solving skills by working through playtime dilemmas, such as deciding which size block will make the best roof for a building.

The role in fostering math learning is to build on children’s natural curiosity about shapes, sizes, amounts, and other fundamentals of math. This article will offer plently to help in integrating experiences with math into children’s every-day play. But remember that we are the one who will make it work. Our excitement and interest in children’s inquiries will encourage them to talk through their discoveries. Our acceptance of their math reasoning, even when it may seem “wrong” or illogical, will give them the confidence to keep thinking, questioning, and sharing.
As children touch, pour, shape, and order materials oround them, they discover relationships among objects. The child has a new way of identifying the cars as the “fast red car” and the “faster yellow car”. They can easy to classification the circle shape or square with collecting the materials. Following the pattern: crayon, book, pencil, and continu the next. Sometime the children interesting to measuring the materials with simple way, like fingering, step their feet, or others. Each new discovery about the physical world, and the thinking that accompanies these discoveries, lays the foundation for later mathematical learning. When the child reaches elementary school, their preschool experiences will prepare them for learning to calculate differences in distance and speed, give them a concrete under-standing of how to measure volume, counting the materials, or the other skills.
Learning to be a math thinker also involves using math to solve problems, and the everyday life of preschool offers and endless array. Determining how many sandwich to make for the picnic lunch or how many buckets of sand are needed to fill the sandbox are real challenges – problems children can solve together or on their own.

Pengembangan Motorik untuk Anak Usia Dini

A. Perkembangan Motorik
Ada dua istilah dalam perkembangan motorik, yaitu yang disebut dengan gerak (movement) & motorik (motor). Motorik (motor) merujuk pada faktor biologis dan mekanis yang memengaruhi gerak (movement)…(Gellahue, 1997). Sedangkan gerak (movement) merujuk pada perubahan aktual yang terjadi pada bagian tubuh yang dapat diamati. Maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa motorik merupakan kemampuan yang bersifat lahiriah yang dimiliki seseorang untuk mengubah beragam posisi tubuh.
Perkembangan motorik merupakan cara tubuh untuk meningkatkan kemampuan sehingga performanya menjadi lebih kompleks. Perubahan ini terjadi terus menerus sepanjang siklus kehidupan. Perkembangan motorik mencakup dua klasifikasi, yaitu kemampuan motorik kasar dan kemampuan motorik halus.
Meggitt (2002) mengungkapkan istilah perkembangan motorik merujuk pada makna perkembangan fisik, di mana perkembangan fisik memiliki arti bahwa anak telah mencapai sejumlah kemampuan dalam mengontrol diri mereka sendiri. Sementara Dodge (2002) berpendapat bahwa pencapaian kemampuan motorik kasar dan motorik halus pada anak usia prasekolah merupakan tujuan dari pengembangan fisik anak.
Perkembangan motorik anak akan melalui tiga proses, yaitu: pertama, perkembangan dari otot kasar menuju otot kecil, kemudian pertumbuhan dari kepala ke jari kaki (cephalocaudal) serta perkembangan dari sumbu tubuh menuju ke luar (proximoditssal).
Kemampuan motorik kasar adalah kemampuan untuk menggunakan otot-otot besar pada tubuh, sementara kemampuan motorik halus mencakup kemampuan manipulasi kasar (gross manipulative skill) dan kemampuan manipulasi halus (fine manipulative skill) yang melibatkan penggunaan tangan dan jari secara tepat (Carolyn Meggit, 1999).

B. Jenis Kemampuan Motorik Kasar
Ada tiga jenis gerakan pada motorik kasar yang dapat dilakukan oleh anak. Ketiga kegiatan ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan tingkat usianya. Berikut akan dijelaskan ketiga jenis kegiatan ini:
1. Kemampuan Lokomotor
Perlu dikembangkan dengan tujuan membantu anak mengembangkan kemampuan menggunakan otot-otot besar untuk berpindah (menggunakan semua anggota tubuh) secara horizontal dan proyeksi tubuh. Gerakan lokomotor dapat ditunjukkan melalui kegiatan seperti melompat, meloncat, berlari cepat, berjingkrak, dan meluncur.
2. Kemampuan Non-lokomotor
Kemampuan menggerakkan bagian atau anggota-anggota tubuh seperti kepala, bahu, tangan, pinggang, kaki tanpa melakukan perpindahan. Kegiatan ini dapat berupa gerakan mendorong, menarik, mengayun, meliuk, memutar, peregangan, mengangkat, membungkuk, angkat satu kaki, dst.
3. Kemampuan Manipulatif
Kemampuan ini merupakan kemampuan anak menggunakan benda, alat atau media dalam bergerak. Alat atau media ini dapat diperlakukan dengan cara dilempar, diayun, diangkat, ditarik, digulirkan, dihentakkan, atau dengan cara lainnya sehingga dapat mendukung kemampuan gerak yang diharapkan dapat dicapai atau dikuasai.

C. Tahap Perkembangan Motorik Kasar
Dalam mengembangkan kemampuan motorik anak, guru perlu mengetahui tahapan perkembangan anak terutama yang terkait dengan motoriknya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dalam memberikan stimulasi kepada anak. Berikut ini akan dijelaskan tahapan perkembangan motorik paada anak usia dini.

1. Imitation (peniruan)
Keterampilan seseorang menirukan sesuatu yang dilihat, didengar dan dialaminya. Tahap imitasi terjadi ketika anak mengamati suatu gerakan, di mana anak mulai memberi respon serupa dengan apa yang diamatinya. Contoh : menirukan gerakan tari, berjalan atau melompat.

2. Manipulation (menggunakan konsep)
Keterampilan untuk menggunakan konsep dan melakukan kegiatan. Tahap manipulasi menekankan pada perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan gerakan-gerakan pilihan dan menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Contoh : memasukkan bola ke keranjang, melakukan smash, atau melakukan gerakan senam yang didemonstrasikan.

3. Presition (ketelitian)
Berhubungan dengan kegiatan secara teliti dan benar. Aktivitas di tahap ini membutuhkan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Contoh : Berjalan di atas papan titian.

4. Articulation (perangkaian)
Keterampilan motorik untuk mengaitkan bermacam-macam gerakan yang berkesinambungan. Aktivitas dalam tahap ini menekankan pada koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal antara gerakan-gerakan yang berbeda. Contoh : mendrible dan layout, menggiring dan mengoper bola.

5. Naturalisation (kewajaran)
Gerakan yang dilakukan dengan dihayati dan wajar. Menurut tingkah laku yang ditampilkan, gerakan ini paling sedikit mengeluarkan energy baik fisik maupun psikis. Gerakan biasanya dilakukan secara rutin sehingga telah menunjukan keluwesan. Contoh : bermain bola, berenang, bersepeda.

D. Motorik Kasar untuk AUD
Lembaga pendidikan mempunyai fungsi untuk meletakkan dasar pengembangan aspek-aspek afektif dan psikomotor, di samping aspek kognitif sebagai unsur yang menuju kepada pembinaan anak menjadi pribadi-pribadi yang utuh, sehat dan segar baik jasmani, rohani, maupun sosialnya. Untuk itu dilakukan upaya yang salah satunya adalah dengan dimasukkannya program pendidikan keterampilan ke dalam kurikulum dan pengembangan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di sekolah-sekolah.
Anak-anak prasekolah membuat kemajuan yang besar dalam ketrampilan motorik kasar (gross motor skill), seperti berlari, melompat, yang melibatkan penggunaan otot besar. Perkembangan daerah sensoris dan motor pada korteks memungkinkan koordinasi yang lebih baik antara apa yang diinginkan oleh anak dan apa yang dapat dilakukannya. Tulang dan otot mereka semakin kuat, dan kapasitas paru mereka semakin besar memungkinkan mereka untuk berlari, melompat, dan memanjat lebih cepat, lebih jauh, dan lebih baik (Papalia, Old, dan Feldman, 2008: 315).
Pada usia 4 tahun anak-anak masih suka jenis gerakan sederhana seperti berjingkrak-jingkrak, melompat, dan berlari kesana kemari, hanya demi kegiatan itu sendiri tapi mereka sudah berani mengambil resiko. Walaupun mereka sudah dapat memanjat tangga dengan satu kaki pada setiap tiang anak tangga untuk beberapa lama, mereka baru saja mulai dapat turun dengan cara yang sama.
Pada usia 5 tahun, anak-anak bahkan lebih berani mengambil resiko dibandingkan ketika mereka berusia 4 tahun. Mereka lebih percaya diri melakukan ketangkasan yang mengerikan seperti memanjat suatu obyek, berlari kencang dan suka berlomba dengan teman sebayanya bahkan orangtuanya (Santrock,1995: 225).
Terlihat bahwa pengembangan motorik kasar untuk anak usia prasekolah (2-6 tahun) lebih kepada melatih gerak dan koordinasi mereka di mana standar kompetensi dan kompetensi dasarnya dimuat dalam kemampuan motorik pada kurikulum. Kegiatan pun banyak dilakukan melalui aktivitas bermain, sama halnya dengan pengembangan kemampuan motorik yang dilakukan di tingkat SD kelas awal. Perbedaannya adalah pada tingkat SD, unsur knowledge sudah mulai dikenalkan kepada anak. Sehingga di tengah dan akhir kegiatan pembelajaran ada serangkaian evaluasi yang tidak hanya mengukur kemampuan praktikal motorik anak melainkan juga ada pengukuran kemampuan pengetahuan mereka terkait dengan beberapa hal dalam pelajaran pendidikan jasmani itu sendiri.