A. Belajar dan Pembelajaran
Pada dasarnya belajar merupakan suatu hal yang alamiah terjadi pada diri manusia seperti halnya anak-anak. Di rumah, di tempat bermain, juga di sekolah, anak mengalami proses belajar. Terlebih ketika orang dewasa menyadari betul bahwa anak terutama di usia dini masih sangat senang melakukan kegiatan bermain, bereksplorasi dan berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Pada saat itulah sebetulnya mereka sedang mengalami proses belajar. Mereka mulai mengikuti aturan yang ada, mengikuti tingkah laku orang dewasa maupun teman-temannya, berusaha menjaga hubungan atau interaksi dengan teman sebayanya meskipun sesekali terjadi konflik, menyerap informasi baru, hingga memecahkan masalah sederhana.
Pengertian belajar diungkapkan oleh Wittaker yang dikutip Sumanto sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman (Sumanto, 1987: 67). Masih dalam buku yang sama, pendapat Wittaker tersebut hampir senada dengan yang dikemukakan oleh Cronbach bahwa belajar adalah proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui praktik dan latihan. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, belajar dapat dimaknai sebagai suatu proses latihan untuk merubah tingkah laku seseorang.
Pendapat lain tentang belajar yang diungkapkan oleh Djamarah adalah proses usaha yang dilakukan individu, untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Djamarah, 2002:13). Hal yang menarik untuk dicermati dari pendapat ini adalah bahwa lingkungan mempunyai peran dalam proses belajar seseorang. Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan, terlihat bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sengaja, melalui interaksi dengan lingkungannya untuk mencapai tujuan tertentu sebagai hasil belajar.
Belajar dapat ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri anak. Namun hal ini juga memungkinkan munculnya dampak yang negatif bagi perkembangan anak sendiri. Ketika tidak ada pengendalian yang terarah secara positif dan berkelanjutan dari orang dewasa, maka anak dapat saja menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki pada hal-hal yang membahayakan atau merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, peran orang dewasa sangat penting bagi proses belajar anak terutama dalam mentransformasikan pengetahuan, keterampilan dan juga nilai-nilai.
Menyadari pentingnya peran dan pengkondisian lingkungan yang positif dalam mengarahkan terjadinya perubahan tingkah laku anak, maka selanjutnya perlu dibahas juga tentang proses pembelajaran terutama bagi anak usia dini. Istilah pembelajaran itu sendiri dapat dimaknai sebagai usaha sadar yang dilakukan dengan suatu perencanaan, terorganisir ataupun terkendali dan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ada kondisi belajar internal yang timbul dari memori anak sebagai hasil dari belajar sebelumnya dan ada sejumlah kondisi eksternal ditinjau dari diri anak. Kondisi eksternal ini dapat berupa petunjuk verbal, petunjuk tertulis, skema pengorganisasian pikiran, praktik, pengulangan unjuk perbuatan dan pemberian contoh baik berupa objek, peristiwa maupun orang atau tauladan (Miarso, 2007:458).
Dalam kegiatan pembelajaran akan terjadi interaksi yang bermakna yang dilakukan anak dengan guru, anak dengan anak yang lain serta anak dengan lingkungannya. Kebermaknaan kegiatan pembelajaran akan terjadi bila langkah-langkah dan cara yang digunakan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan mengarah pada tujuan yang hendak dicapai. Sehingga sistematikanya harus konseptual dan bersifat praksis. Dengan demikian, proses pembelajaran akan selalu terkait dengan aktivitas anak, media dan sumber belajar yang digunakan, metode yang tepat, langkah-langkah yang terarah, serta yang tak kalah pentingnya adalah materi yang hendak disampaikan atau yang harus dikuasai oleh anak.
B. Anak Usia Dini dan Cara Belajarnya
Setiap anak telah Tuhan ciptakan dengan beragam potensi yang berbeda-beda. Mereka adalah makhluk yang unik, yang satu sama lain tidak bisa disamaratakan ataupun dibanding-bandingkan. Setiap anak memiliki keunggulannya masing-masing yang perlu terus dikembangkan sehingga menjadi actual potency. Tanggung jawab orangtua dan guru adalah mengasuh dan mengarahkan mereka ke arah yang positif. Namun tentu saja hal ini tidak dapat terwujud jika orangtua maupun guru tidak mengetahui tentang proses maupun tahapan perkembangan yang berlangsung pada diri anak.
Perlu diingat pula bahwa berkembangnya potensi yang beragam pada diri manusia begitu juga anak, besar dipengaruhi oleh kemampuan fungsi otak yang berbeda dengan makhluk yang lain. Otak pada manusia ini di dalamnya terdapat syaraf-syaraf synaps yang terus bekerja sehingga mampu menyerap berbagai informasi yang ada di sekelilingnya. Selain itu pula, syaraf-syaraf synaps ini dapat terus berkembang dan mengolah berbagai hal sehingga berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan manusia itu pula, seperti halnya dalam bidang keilmuan ataupun seni dan budaya, yang pada akhirnya kemudian menjadi pembeda dari kehidupan makhluk yang lainnya.
Dengan mempelajari perkembangan anak, orangtua dan guru akan mengetahui bahwa anak adalah makhluk yang lemah, anak-anak membutuhkan bantuan dari orang dewasa dalam mendapatkan stimulus, pembelajaran dan pendidikan dalam sebuah proses yang bersistem dan berkesinambungan. Namun mereka juga adalah individu yang memiliki pola perkembangan dan kebutuhan tertentu yang berbeda dengan orang dewasa, sehingga mereka tidak bisa diperlakukan selayaknya orang dewasa yang berbentuk mini.
Di samping membutuhkan bantuan dari orang dewasa, anak-anak juga membutuhkan orang-orang di sekitarnya termasuk dengan anak-anak yang seusianya. Tentunya mereka pun bisa belajar dalam beberapa hal dari lingkungannya. Termasuk di dalamnya adalah berbagai hal yang didapatnya melalui berbagai media maupun alat permainan yang sudah serba canggih. Mereka perlu untuk bersosialisasi, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan orang lain, karena anak adalah makhluk sosial. Meskipun di usia kanak-kanak ini juga dipengaruhi oleh cara berpikir dan bersosialisasinya yang masih dalam tahap Ego Sentris di mana semua hal selalu dilihat dari sudut pandangnya saja.
Anak-anak di usia dini terutama di usia prasekolah (3-5 tahun) mulai menunjukkan keberadaannya sebagai anggota kelompok. Banyak orangtua yang menganggap bahwa masa ini adalah masa sulit bagi mereka dalam menghadapi anak yang biasa dikenal juga dengan masa Trozt Altor 1 atau sebagai periode pembangkangan anak terhadap orang dewasa seperti orangtua maupun guru. Namun pada rentang usia ini juga dikenal dengan adanya periode keemasan. Di mana mereka mampu menyerap berbagai informasi dan stimulus yang ada di lingkungan mereka dengan optimal. Begitu banyak kesempatan yang dapat dialami anak untuk mencapai perkembangan tertingginya, terutama pada perkembangan otaknya. Windows of Opportunity akan terbuka luas bagi anak di periode tersebut. Otak anak terus menuntut untuk mendapatkan stimulus dari lingkungan. Neuron-neuron pada otak juga terus bekerja dan saling berkaitan satu sama lain atau yang biasa kita sebut sebagai Neural Network. Di mana berbagai masukan seperti halnya bahasa, musik, kognitif, nilai-nilai, dan sebagainya akan diserap dengan cepat.
Periode keemasan juga merupakan periode berkembang dan mulai teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada pada diri anak, termasuk di dalamnya adalah perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif seorang anak menunjukkan perkembangan cara berpikirnya terhadap sesuatu. Pendapat Bloom seperti yang dikutip Hadisubrata menyatakan bahwa anak usia 4 tahun mengalami perkembangan intelegensi hingga 50% dari variasi orang dewasa (Hadisubrata, 1989:17). Oleh karena itu, pada rentang usia 4-5 tahun merupakan saat yang paling tepat bagi guru dan orangtua untuk mengembangkan kemampuan kognitif anak dengan berbagai stimulasi.
Perkembangan juga dipengaruhi oleh faktor kematangan dan belajar. Apabila anak sudah menunjukan masa peka (kematangan) untuk berhitung maka orangtua dan guru di TK harus tanggap untuk segera memberikan layanan dan bimbingan sehingga kebutuhan anak dapat dipenuhi dan tersalurkan dengan sebaik-baiknya menuju perkembangan kemampuan berhitung yang optimal. Rasa ingin tahunya yang tinggi akan tersalurkan bila mendapat stimulasi yang sesuai dengan tugas perkembanganya. Anak-anak akan lebih berhasil mempelajari sesuatu apabila yang ia pelajari sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuanya.
Melalui penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa perkembangan anak terjadi akibat interaksi antara potensi yang dimilikinya dengan lingkungan di sekitar mereka. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh William Stern bahwa, perilaku yang ditunjukkan anak merupakan hasil interaksi antara potensi bawaan yang dimiliki anak dengan lingkungannya. Melalui interaksi dengan lingkungannya anak dapat belajar akan banyak hal. Bahkan seringkali merekapun sudah bisa berpikir hipotesis secara sederhana. Sebagai contoh ketika anak melihat ada api di dekatnya, ia akan berpikir “Apabila saya mendekati api, maka saya akan terbakar.” Cara berpikirnya ini tentu tidak serta merta muncul dengan sendirinya, melainkan karena ada banyak yang menjadi masukan ataupun sumber pengetahuan baginya. Dari kemampuan hipotesis sederhananya inilah yang kemudian mempengaruhi perilaku mereka.
Selain dari itu, anak juga sudah dibekali dengan kemampuan antisipasi, artinya secara bertahap merekapun akan belajar memperkirakan dan mengambil langkah yang tepat dalam mengambil tindakan, atau pada saat melakukan aktivitas. Hal ini yang kemudian mengembangkan kemampuan foresight pada anak di mana mereka pada akhirnya dapat menemukan kemampuannya sendiri yang kelak akan berguna bagi kehidupan pribadi dan sosialnya. Karena disadari atau tidak, manusia akan selalu berada pada kehidupannya sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosialnya sebagai dua kutub eksistensi psikologis. Sebab perlu disadari bahwa manusia tidak semata-mata sebagai makhluk sosial tetapi juga berjuang untuk menjadi individu/seseorang yang diakui yang berbeda dengan yang lain.
Banyak ahli meyakini bahwa proses pembelajaran bagi anak usia dini seperti halnya di TK sangat berbeda dengan anak pada tahapan SD kelas tinggi, SMP maupun SMU. Pada satu sisi mereka perlu dibimbing, diarahkan dan tidak jarang harus dikendalikan ketika kondisi belajar sudah cukup ‘lepas kendali’. Namun di sisi lain, mereka juga sebaiknya diberi kesempatan yang luas untuk bereksplorasi, melakukan pengamatan secara langsung, menemukan jawaban atas persoalan yang ada, bekerja, ataupun menguji suatu konsep yang menantang baginya. Dengan demikian, guru sebagai ujung tombak dalam proses pembelajaran hendaknya senantiasa menyiapkan materi yang appropriate atau berkesesuaian dengan usia dan kematangan anak. Selain itu, metode pembelajaran yang digunakan juga perlu divariasikan agar dapat menghindari terjadinya kejenuhan pada anak. Bermain menjadi salah satu cara yang tepat dalam melaksanakan pembelajaran pada anak usia dini. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penyediaan media-media kongkrit yang bermakna bagi anak, di mana mereka dapat memanipulasikannya secara langsung. Ini beralasan mengingat pada usia 2-7 tahun menurut Piaget anak-anak masih dalam tahap praoperasional kongkrit.
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan bersama anak dalam pembelajaran di antaranya adalah bernyanyi, bercerita, menari, bermain tebak-tebakan, melakukan aktivitas motorik, bermain alat musik buatan, membuat pola tepuk, bercocok tanam, memasak, field trip, bermain air dan pasir atau mengajak mereka bermain drama. Selain itu, penting juga sesekali mereka diajak untuk melakukan kegiatan untuk relaksasi atau penenangan seperti mendengarkan musik, menonton TV, membaca, atau menonton sebuah pertunjukkan sederhana di sekolah seperti badut, topeng monyet, sulap atau yang lainnya.
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran untuk anak usia dini perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Pembelajaran hendaknya menyenangkan, dapat memberi kesan positif dan bermakna bagi anak.
2. Guru hendaknya memvariasikan kegiatan dan proses pembelajaran sehingga tidak menjenuhkan dan bersifat monoton bagi anak.
3. Proses pembelajaran perlu memperhatikan kebutuhan dan tingkat kematangan anak, bertahap, sehingga berkesesuaian dengan perkembangan masing-masing anak.
4. Anak akan lebih menikmati kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan benda-benda kongkrit atau lingkungan yang berkesesuaian dengan keseharian mereka.
5. Memberi kesempatan yang luas pada anak untuk aktif, eksploratif, dan menemukan jawaban atas masalah yang dihadapi secara mandiri dan kelompok akan menciptakan pembelajaran yang efektif dan optimal.
6. Pembelajaran juga hendaknya mengarah pada semua ranah kemampuan, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik secara komprehensif dan berkelanjutan.
7. Bagi anak usia dini, pembelajaran akan lebih dirasakan manfaatnya secara menyeluruh dengan mengintegrasikan semua aspek kemampuan yang ada. sehingga diharapkan dapat menyeimbangkan kedua belahan otak kanan dan kiri anak.