Mengenai Saya

Foto saya
Saya salah seorang yang cukup concern thdp pendidikan, terutama pendidikan utk anak usia dini. Pendidikan S1 dan S2 PAUD UNJ saya telah banyak membantu dalam pengembangan dan pendalaman kajian AUD.

Senin, 15 Februari 2010

Anak yang Digegas

Setiap anak telah Tuhan ciptakan dengan beragam potensi yang berbeda-beda. Potensi-potensi yang dimiliki anak dapat saja berwujud menjadi kemampuan atau potensi yang teraktualisasi. Namun tidak sedikit pula potensi-potensi tersebut tidak pernah nampak bahkan hilang sama sekali sebagai hidden potency. Hal ini besar dipengaruhi oleh ketidakpekaan orangtua dalam melihat kebutuhan anak untuk berkembang. Sementara dalam kegiatan sehari-hari mereka terus menunjukkan perilaku emansipasi atau keinginan untuk maju serta aktivitas bereksplorasi atau menjelajahi lingkungan di sekitarnya.

Kegiatan emansipasi dan eksplorasi yang dilakukan anak seringkali tidak dibarengi dengan kesempatan yang luas dari orangtua. Banyak orangtua yang terlalu khawatir dengan keselamatan anak sehingga banyak memberikan larangan kepada mereka. Meskipun juga dibenarkan jika ada saat-saat tertentu orangtua membatasi aktivitas anak yang sekiranya membahayakan bagi mereka, tetapi bukan berarti semua kegiatan mereka dibatasi atau bahkan dilarang. Perlu kita ketahui bahwa dengan anak menjelajahi dunia sekitarnya ia akan banyak menemui hal-hal baru (discovery) yang mungkin akan bermanfaat bagi perkembangannya.
Lebih dari itu, masa usia dini juga dikenal sebagai periode keemasan (Golden Age) dalam rentang kehidupannya. Begitu banyak kesempatan yang dapat dialami anak untuk mencapai perkembangan tertingginya, terutama pada perkembangan otaknya. Windows of Opportunity akan terbuka luas bagi anak di periode tersebut. Otak anak terus menuntut untuk mendapatkan stimulus dari lingkungan. Neuron-neuron pada otak juga terus bekerja dan saling berkaitan satu sama lain atau yang biasa kita sebut sebagai Neural Network. Di mana berbagai masukan seperti halnya bahasa, musik, kognitif, nilai-nilai, dan sebagainya akan diserap dengan cepat.

Ketika potensi anak teraktualisasi menjadi nyata, mereka perlu untuk senantiasa dibimbing dan diarahkan agar memberi makna serta manfaat di kemudian hari. Anak tidak lagi hanya diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang mengarah pada belahan otak kirinya saja. Mereka juga perlu distimulus dengan berbagai aktivitas dan sarana yang dapat mengembangkan beragam kemampuan pada belahan otak kanannya. Sehingga akan terjedi keseimbangan antara kedua belahan otak terutama dalam proses pembelajaran.
Selain stimulasi dari lingkungan yang optimal, perkembangan anak termasuk kematangan otaknya juga dapat didukung melalui energy dan gizi yang dikonsumsi. Bertambahnya usia dan level aktivitas anak, akan mempengaruhi pula pada kebutuhan energinya. Maka anak perlu diberikan makanan dan minuman yang bersih dan sehat, gizi yang tercukupi, serta diperoleh dengan cara yang baik pula. Sehingga diharapkan kelak anak tidak mengalami hilangnya jaringan-jaringan penting dalam otak karena kekurangan gizi. Dengan gizi yang baik, tentu akan mempengaruhi intelegensinya, membantu perkembangan sosialnya, meningkatkan perkembangan kognitifnya serta berpengaruh positif bagi perkembangan fisiknya.

Wacana seperti ini mulai banyak diketahui oleh masyarakat seperti halnya orangtua dan tentunya para guru sebagai praktisi pendidikan. Namun sayangnya, pemahaman mereka tentang hal tersebut tidak seperti yang seharusnya diharapkan. Ketika orangtua mulai mengetahui bahwa ketika anak berada dalam rentang usia dini mengalami masa periode keemasan, maka segala cara dilakukan untuk menstimulus otak dan kemampuan putra-putrinya. Seringkali tanpa disadari mereka melupakan karakteristik dan kebutuhan anak yang pada saat itu masih membutuhkan aktivitas bermain, bereksplorasi, berimajinasi, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang menyenangkan bagi mereka. Hal ini sangat terlihat ketika para orangtua mulai “memaksakan” anak untuk dapat menguasai salah satu bahkan beberapa kemampuan atau keterampilan tanpa mengindahkan kebutuhan dan kematangan usia anak. Mereka dipaksa untuk mengikuti berbagai les seperti “calistung”, les piano, les balet, les menggambar, les kumon, les komputer, dan masih banyak lagi di mana anak sendiri pada dasarnya sangat terbebani dengan ragam aktivitas tersebut.
Ironisnya, para guru di sekolah juga terbawa dengan arus seperti ini. Ada beberapa kemungkinan yang melandasi hal ini, pertama karena guru yang mengajar bukan berlatar belakang kependidikan anak usia dini, sehingga mereka tidak mengerti dampak yang terjadi jika hal ini terus berlangsung. Kedua, adanya kekurangpahaman guru dalam menyerap dan mengimplementasikan konsep yang mereka sudah dapatkan, sehingga mereka menganggap hal itu benar dan bahkan tidak ada itikad untuk merubah pada cara yang lebih baik. Kemungkinan ketiga adalah kebutuhan orangtua tersebut sudah menjadi tuntutan kepada sekolah, sehingga pihak sekolah berusaha menanggalkan idealisme mereka dan memenuhi tuntutan tersebut karena takut kehilangan pangsa pasar.

Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa, pendidikan anak usi dini merupakan pondasi bagi pendidikan dan kehidupan anak kelak di kemudian hari. Sehingga meskipun priode keemasan ini muncul pada mereka, stimulasi yang diberikan hendaknya tetap harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak. Pembelajaran harus dimulai dari yang kongkrit menuju ke abstrak, dari yang dekat dengan anak menuju kepada yang lebih jauh, dari yang sederhana hingga yang lebih kompleks. Sehingga pembelajaran yang dilalui anak akan bersifat kontekstual atau bermakna dan sesuai dengan keseharian mereka. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan dengan baik tentu akan menjadi kontraproduktif dengan konsep pendidikan anak usia dini yang seharusnya.

Terlebih jika kita ingat bahwa dalam pendidikan termasuk pendidikan untuk anak usia dini terdapat empat pilar yang harus dicapai dari proses pendidikan yang berlangsung. Pertama bahwa pendidikan harus menanamkan kepada anak untuk memiliki keyakinan terhadap Tuhannya. Kedua, melalui pendidikan hendaknya anak dapat memperoleh kemampuan untuk mengakses berbagai pengetahuan yang komprehensif dan beragam (learning how to know). Ketiga, dengan pendidikan sepantasnya anak dapat melakukan berbagai hal sebagai implementasi dari berbagai pengetahuan yang sudah diperolehnya (learning how to do). Sedangkan yang keempat, pendidikan seharusnya dapat melatih anak untuk dapat memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk kemaslahatan bersama (learning how to live together). Dengan demikian kita dapat melihat bahwa pendidikan baik dalam bentuk pembelajaran di sekolah maupun stimulasi di rumah seharusnya tidak hanya mengembangkan kognitif semata, melainkan dapat bersifat komprehensif dan bermakna bagi mereka.

Hal lain yang perlu diketahui oleh para orangtua dan juga guru adalah bahwa dalam proses pembelajaran, selalu ada tahapan-tahapan yang harus dilalui anak. Mereka tidak bisa langsung dipaksakan untuk mencapai suatu kemampuan tertentu tanpa melewati tahapan sebelumnya. Sebagai contoh, anak tidak mungkin bisa membaca jika mereka belum mengetahui konsep huruf dan suku kata. Atau anak juga tidak mungkin dapat melakukan penjumlahan jika mereka belum mengetahui konsep bilangan. Jika anak tidak melalui tahapan-tahapan kemampuan sebelumnya, maka yang terjadi anak hanya sekedar menghafal atau mengikuti contoh tanpa memahami makna dan konsep yang seharusnya.

1 komentar:

  1. sedikit meralat tulisan sy ini, bahwa pilar pendidikan terdiri dari lima. 1) learning how to religius, 2) learning how to know, 3) learning how to do, 4) learning how to be, 5) learning how to live together.
    semoga bermanfaat..

    BalasHapus